Tuesday, May 31, 2016

Benarkah Muhammadiyah Pernah Ikut Standar Hilal Tinggi?

Beberapa hari ini, ada beberapa artikel yang terkesan menyerang Muhammadiyah berseliweran, di antaranya yang berjudul: "Menguak Rahasia Muhammadiyah Selalu Nampak Beda dengan Nahdlatul Ulama (NU)".

Artikel tersebut banyak sekali menuliskan hal-hal yang pada intinya kehadiran Majelis Tarjih-lah yang menyebabkan Muhammadiyah berbeda dengan NU. Beberapa point dalam artikel tersebut sudah banyak dibantah, namun ada salah satu point yang nampaknya saya belum melihat bantahannya. Salah satunya adalah sebagaimana kutipan dalam artikel tersebut:

"Oleh karena itu, tahun 90-an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh Departemen Agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya."


Kalau saja kita mau jeli, sedikit saja jeli, atau minimal bertanya, dan mau memeriksa kejadian-kejadian di mana NU pernah berhari raya terlebih dahulu daripada Muhammadiyah di tahun 1992-1994, maka kita akan memiliki beberapa pertanyaan.
  1. Benarkah NU lebaran duluan karena hilal sudah dua derajat ataukah ternyata masih di bawah 0 derajat?
  2. Benarkah Pemerintah-Muhammadiyah pakai hilal tinggi saat itu, ataukah kejadiannya, hilal sudah di atas 2 derajat, sehingga Pemerintah-Muhammadiyah bersamaan, mengingat Muhammadiyah saat itu sudah pakai wujudul hilal?
Perlu penulis garis bawahi di sini, artikel tersebut menyatakan bahwa NU menggunakan hisab 2 derajat saat itu sebagaimana kutipan: "Oleh karena itu, tahun 90-an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah", karena artikel tersebut menyatakan bahwa Muhammadiyah dan Pemerintah saat itu menggunakan hisab tinggi, tanpa penjelasan yang jelas, maka penulis berasumsi bahwa penulis artikel tersebut menyatakan bahwa Muhammadiyah menggunakan sudut hisa lebih besar dari 2 derajat, entah 3, 4, atau 5 derajat atau mungkin lebih besar lagi. Padahal, saat itu, Muhammadiyah sudah menggunakan wujudul hilal.

Pertama, kita lihat fakta Idul Fitri 1992 [1]
-----
Ijtimak akhir Ramadhan tahun 1412 H terjadi hari Jum’at Paing, 3 April 1992 M., pukul 12:02:25 WIB. Ketika matahari terbenam di Pos Observasi Bulan (POB) Pelabuhan Ratu, bulan masih di bawah ufuq dengan tinggi mar’i -1° 7’ 45”.

Pada saat itu Menteri Agama atas nama Pemerintah Indonesia melalui sidang isbat menetapakan 1 Syawal 1412 H., jatuh Ahad Wage, 5 April 1992 M., atas dasar istikmal dan menolak laporan rukyah dari daerah Jawa Timur.

Nahdlatul Ulama (NU) mengikhbarkan bahwa 1 Syawal 1412 H., jatuh hari Sabtu Pon, 4 April 1992 M. (mendahului ketetapan Pemerintah) atas dasar adanya laporan rukyah dari Jawa Timur dan Cakung, sedangkan Muhammadiyah sejalan dengan keputusan Pemerintah yaitu 1 Syawal 1412 H., jatuh hari Ahad Wage, 5 April 1992 M.


Kedua, kita lihat Fakta Idul Fitri 1993 [1]
-----
Ijtimak akhir Ramadhan tahun 1413 H., terjadi hari Selasa Legi, 23 Maret 1993 M., pukul 14:15:31 WIB. Ketika matahari terbenam di Pos Observasi Bulan (POB) Pelabuhan Ratu, bulan masih di bawah ufuq dengan tinggi mar’i -2° 16’ 52”.

Pada saat itu Menteri Agama atas nama Pemerintah Indonesia melalui sidang isbat menetapakan 1 Syawal 1413 H., jatuh Kamis Pon, 25 Maret 1993 M., atas dasar istikmal dan menolak laporan hasil rukyah hilal dari Jawa Timur dan Cakung.

Nahdlatul Ulama (NU) mengikhbarkan bahwa 1 Syawal 1413 H., jatuh hari Rabu Paing, 24 Maret 1993 M.(mendahului ketetapan Pemerintah) atas dasar adanya laporan rukyah dari Jawa Timur dan Cakung, sedangkan Muhammadiyah sejalan dengan keputusan Pemerintah yaitu 1 Syawal 1413 H., jatuh hari Kamis Pon, 25 Maret 1993 M. Pada waktu itu ada sebagian kaum muslimin Indonesia yang berhari raya hari Selasa Legi, 23 Maret 1993 (mendahului 2 hari dari ketetapan Pemerintah) karena mengikuti hari raya ’Idhul Fitri 1413 H., di Arab Saudi.


Kesimpulan


---


Dari kedua fakta tersebut terlihat dengan nyata bahwa saat itu NU berhari raya ketika sudur bulan masih di bawah ufuk. Sebenarnya tidak ada masalah, karena masih ada metode hisab yang selaras, yakni metode Qobla Ghurub. Namun, membuat artikel dengan sebuah fakta palsu, yang mengatakan bahwa Muhammadiyah menggunakan hisab tinggi dan NU menggunakan hisab 2 derajat saat terjadi perbedaan di tahun 1992-1994, itu adalah kebohongan yang luar biasa.

Rujukan:
  1. Slamet Hambali. 2012. Fatwa, Sidang Itsbat, dan Penyatuan Kalender Hijriyah.

No comments:

Post a Comment