Baru dapat cerita konyol nih dari masa lalu di negeri seberang.
Alkisah pada jaman Sultan Agung, beliau memiliki seorang tukang rumput yang sangat rajin. Pagi buta sang tukang rumput sudah berangkat untuk mencarikan rumput bagi kuda-kuda istana. Tukang rumput pun hanya akan memberikan rumput kualitas terbaik bagi kuda-kuda istana. Melihat prestasi tukang rumputnya, sebagai rasa terima kasih, Sultan Agung memberikan hadiah semangka. Hadiah semangka yang diberikan bukanlah semangka sembarangan. Menurut Sultan Agung, semangka tersebut akan bisa banyak mengubah nasib tukang rumput tersebut.
Namun, apa yang terjadi. Ternyata si tukang rumput menjual buah itu. Padahal, Sultan Agung mengisinya dengan segenggam berlian yang bisa membuatnya menjadi kaya. Apa boleh buat. Sultan Agung lalu menyimpulkan, miskin itu agaknya memang sudah suratan nasib.
Nah, dari penggalan kisah diatas, apa yang ada di pikiran kita? Apakah kesimpulan dari Sultan Agung bahwa miskin itu memang sudah suratan nasib seseorang. Apakah ketika lahir, maka sudah ada garis takdir bahwa kita akan jadi kaya atau jadi miskin..?!?
Nah, kalo gitu, kira2 anda ini punya nasib jadi kaya.. atau jadi miskin kah..?!??
Sumber: Saudara Kamal.
Jujur saja, bagiku, cerita ini tidak mendidik sama sekali. Pembunuh motivasi.
Pertama, bikin orang patah semangat. Buat apa kerja susah-susah, kalau takdirnya miskin ya miskin. Apalagi ditambahi embel-embel pertanyaan di belakang.
Kedua, memasukkan segenggam berlian ke dalam semangka? Emang semangkanya gak rusak apa?
Ketiga, memperlihatkan kebodohan sang raja. Raja yang baik tentu tidak akan memberikan berlian, apalagi secara sembunyi-sembunyi. Lebih baik beri gaji yang lebih tinggi. Kalau diberikan berlian, nantinya, jangan-jangan orang-orang malah mencurigai sang tukang kebun sebagai pencuri, tentu saja itu kalau skenarionya semangkanya dimakan. Jadi, bisa saja, dijual atau dimakan, kedua skenario tersebut malah tidak memberikan manfaat sama sekali bagi tukang rumput tersebut. Namun bagaimanapun, cerita itu kalau diubah sedikit, menjadi tes kejujuran, bukan sebagai ucapan terima kasih, cukup bagus juga. Meskipun tetap ada keanehan. :D
Hehehe.. cerita zaman sultan Agung diinterpretasikan pada zaman millenium, dengan interpretasi budaya milenium, dengan kecerdasan milenium pula. Bagaimana kalau mengambil sudut pandang zaman sultan agung pula, dengan interpretasi budaya zaman sultan agung, dan dengan pemikiran masyarakat pada zaman tersebut?
ReplyDeleteKOnyolan mana dengan postinganku di konyol-abiz.blogspot.com?
ReplyDelete