Friday, January 25, 2008

Memilih Berdasar Aqidah

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

Perlu dicatat, hal di bawah ini belum pernah terjadi pada saya.

Studi kasus pertama:
Ada seorang cewek tidak berjilbab yang naksir aku.
"Mas, kamu mau menikahi aku?"
Jawabku, "Aku suka seseorang yang pakai jilbab."
Jawabnya, "Nanti aku kalau sudah jadi istri mas, aku akan pakai jilbab."
Tanyaku, "Mengapa tidak kamu mulai dari sekarang saja?"
Jawabnya, "Kan mas belum jadi suamiku."

Studi kasus kedua:
Ada seorang cewek tidak berjilbab yang naksir aku.
"Mas, kamu mau menikahi aku?"
Jawabku, "Aku suka seseorang yang pakai jilbab."
Jawabnya, "Kan jilbab itu gak wajib"
...

Studi kasus ketiga:
Ada seorang cewek tidak berjilbab yang naksir aku.
"Mas, kamu mau menikahi aku?"
Jawabku, "Aku suka seseorang yang pakai jilbab."
Jawabnya, "Nanti aku kalau sudah jadi istri mas, aku akan pakai jilbab."
Tanyaku, "Mengapa tidak kamu mulai dari sekarang saja?"
Jawabnya, "Karena aku masih belum bisa lepas dari ortuku."

Dalam studi kasus di atas, ketiga orang itu tidak mau berjilbab. Namun, ketika aku bertemu studi kasus yang pertama, jelas orang itu langsung aku coret dari daftarku. (sombong banget) Lho, kenapa? Karena dia melaksanakan atau tidak melaksanakan, bukan karena mempunyai pemahaman yang berbeda. Tapi dia melaksanakan atau tidak melaksanakan, dengan syarat orang lain. Hal ini sangat berhubungan dengan aqidah. Ketika sebuah ibadah sudah mampu dilaksanakan tanpa ada yang menghalang-halangi, yang berarti saat itu, dia mengalami kondisi yang paling mudah untuk merubah diri, namun dia tidak mau berubah, perlu dipertanyakan niatnya. Atas dasar apa dia ingin berubah? Sesungguhnya amal itu berdasarkan niatnya.

Bagaimana dengan studi kasus kedua dan ketiga. Diskusi-diskusi selanjutnya akan sangat menentukan. Yang jelas, aqidah harus diutamakan.

7 comments:

  1. mmmm... ya .. bisa jadi wanita pertama masih belum memahami sebenarnya mas, arti jilbab itu apa...
    kondisi ideal dimana sebuah pembicaraan benar2 mewakili pemikiran seutuhnya saya kira hanya ada di dunia utopia...
    sama seperti 1 gelas es teh + 1 gelas es teh = 2 gelas es teh

    wallahu a'lam

    ReplyDelete
  2. @pribadi dewa

    Berarti yang kamu bicarakan sebenarnya studi kasus kedua, bukan yang pertama.

    ReplyDelete
  3. tapi kalo dicoret .. wah .. perasaan kita semua (maaf) pada awalnya beribadah karena keterpaksaan .. kita dulu sholat karena diajari orang tua... puasa dipaksa sambil diiming2 i hadiah ... some people still keep their childhood in their personality...
    siapa tau hatinya justru terbuka saat mas kholimi benar2 menikahi wanita itu..
    hati adalah hak prerogatif dari Sang Pencipta mas...

    ReplyDelete
  4. @pribadidewa

    Beribadah karena terpaksa atau tidak terpaksa, ada pada studi kasus ketiga.

    Adapun karena alasan ingin dapat hadiah di dunia, merupakan studi kasus pertama. Tapi, seperti kata jenengan, memang perempuan dalam studi kasus pertama itu anak kecil ya? Kok ibadah saja minta hadiah dulu. Masih kecil kok minta nikah. Ini kan kontradiksi.

    Memang hati itu urusan ALLOH, oleh sebab itu, kita menilai dhahirnya. Dan insyaALLOH, dalam studi kasus di atas, saya menilai secara dhahirnya, adapun hati, seperti yang jenengan bilang, hanya ALLOH yang tahu.

    Alasan jenengan mengenai urusan hati, malah semakin bingung penilaian di atas. Sama seperti, ketika hakim disuruh menilai, apakah seseorang itu pencuri. Maka, apabila hakim menemukan bahwa bukti lebih berat ke arah dia tertuduh sebagai pencuri, maka hakim tersebut harus memutuskan orang itu bersalah. Adapun, nantinya, ternyata bukti-bukti itu ternyata hasil rekayasa, maka keputusan hakim tidak boleh disalahkan.

    ReplyDelete
  5. ada pertanyaan yang belum dijawab lho ;))

    ReplyDelete